Nona dari Kampung Tradisional Bena
Kampung Tradisional Bena bisa jadi salah satu destinasi yang paling melekat dalam ingatan Lala (anak kami yang saat ini berumur 3.5 tahun) selama kami roadtrip ke Flores karena, di Kampung Bena ini, hampir semua orang memanggil Lala dengan sebutan Nona. Pada awalnya, dia sempat bingung dan menimpali setiap orang sambil bilang, “ini Lala, bukan Nona” :p Akhirnya kami jelaskan kalau di Flores, terutama di Kampung Tradisional Bena ini, perempuan yang masih muda atau kecil memang di panggil “Nona”.
Cerita dipanggil Nona ini masih diingat Lala sampai kami tiba di Bali, bahkan saat mulai sekolah lagi, dia ceritain dengan semangat ke semua gurunya kalau dia ke Kampung Bena dan di sana dipanggil “Nona”. Lucu ya anak-anak 😀
Selain cerita si Nona Lala tadi, ada banyak hal yang ingin kami ceritakan dari kampung yang menurut kami eksotis ini, bahkan kami sampai berkunjung dua kali ke Kampung Bena ini. Ada apa aja dan kenapa kami suka banget sama Kampung Bena ini ?
Lokasi Kampung Tradisional Bena
Kampung Bena ini terletak tidak jauh dari Kota Bajawa, butuh waktu sekitar 30 menit berkendara menggunakan mobil untuk tiba di Kampung Bena ini. Lokasinya juga tidak jauh dari Manulalu Bed and Breakfast, yang bisa dibilang merupakan penginapan terdekat dari Kampung Bena, kecuali Anda memilih untuk tinggal di rumah warga.
Keunikan Kampung Tradisional Bena
Tiket Masuk
Untuk masuk ke Kampung Tradisional Bena ini kita perlu melapor ke sebuah rumah di bagian paling depan desa, yang selain dijadikan “loket” pendaftaran tamu, juga menjadi pusat informasi di mana terdapat beberapa papan informasi mengenai Kampung Bena. Setiap tamu dikenakan tiket masuk sebesar Rp. 20.000 per orang (dewasa) dan akan diberikan Keru, yaitu kain selendang khas Kampung Bena, yang wajib digunakan selama memasuki kawasan Kampung Bena ini.
Rumah Adat
Salah satu keunikan dan daya tarik utama Kampung Tradisional Bena adalah rumah adat mereka yang masih terus dipertahankan sampai sekarang, baik dari segi, bentuk maupun fungsi. Setiap keluarga mempunya rumah inti yang mewakili nenek moyang masing-masing keluarga, saat rumah inti tersebut pertama kali dibangun. Sao saka pu’u adalah rumah bagi nenek moyang perempuan yang ditandai dengan tanda seperti tusuk rambut di bagian sisi atap rumah yang terbuat dari bambu dan kelapa muda berukulan kecil; sementara bagi nenek moyang laki-laki, dinamakan sa’o saka lobo, ditandai dengan patung pria yang terbuat dari ijuk yang diletakkan di bagian tengah atap rumah; sementara itu, terdapat juga rumah pendukung yang tidak memliki simbol apa-apa di bagian atapnya.
Setiap rumah sendiri terdiri dari tiga bagian, yaitu lewu sebagai tiang penunjang yang ditanam ke tanah, sao sebagai lantai dan dinding dan iru atau atap. Kemudian secara fungsi terbagi menjadi tiga, yaitu bagian luar yang disebut teda moa yang digunakan untuk bersantai atau area perempuan menenun sambil menjaga anak, lalu teda one yang digunakan sebagai tempat diskusi dan menerima tamu, dan bagian terakhir dan yang paling dalam adalah one sao dimana menjadi tempat pusat spiritual di masing-masing rumah, yang dilengkapi tangga kecil sebelum memasukinya.
Saat ini, di rumah-rumah ini, selain menyambut tamu dan juga sebagai tempat tinggal, perempuan Bena juga berjualan kain-kain hasil tenunan mereka. Beberapa kain ini masih menggunakan pewarna alami dari daun dan tanaman alami dan benangnya masih dibuat secara alami dari kapas, sementara sebagian lain sudah menggunakan benang dengan pewarna teksil. Harga kain sekitar Rp. 250.000,- sampai Rp. 450.000,- tergantung bahan dan juga pewarna plus kemampuan tawar menawar kita : ) Oh iya, setiap kain ini butuh waktu sekitar 15 hari untuk ditenun lho, dan kita bisa melihat proses menenun ini di teras-teras rumah warga.
Selain itu, juga kita bisa melihat beberapa tumpukan batu di depan rumah yang ternyata digunakan warga sebagai meja persembahan bagi leluhur mereka. Kami juga melihat beberapa makam di depan rumah warga, karena ternyata dulunya, warga mengubur keluarga yang meninggal di depan rumah masing-masing, tetapi karena semakin lama semakin banyak, sekarang hal ini sudah dilarang pemerintah dan sudah disediakan lahan pemakaman umum.
Menara Pandang dan Patung Bunda Maria
Menara pandang dan patung Bunda Maria yang berada di bukit kecil di bagian belakang desa ini jadi tempat favorit kami selama berada di Kampung Tradisional Bena. Dari menara pandang ini, kita bisa melihat lembah Gunung Inerie yang berdiri cantik di sisi kanan dan juga pesisir Laut Sawu dengan jelas. Suasana di sini sangat tenang, hari itu kami bertemu dengan Om Yakobus, seorang kakek tuna netra yang sedang duduk menghabiskan waktu di menara pandang ini sambil memainkan lagu rohani menggunakan sulingnya, Lala sampai penasaran dan terdiam mendengarkan lagu tersebut selesai dimainkan, lalu kami berbincang-bincang sebentar.
Di menara pandang ini juga terdapat patung Bunda Maria yang berdiri cantik di antara bunga-bunga yang ditanam di sekitarnya. Berdoa di sini terasa sangat tenang, dan di sini juga nih Lala berulang-ulang berdoa minta adik 🙂
Hari Pasar
Ada yang unik di Kampung Bena ini saat kami berbincang dan bertanya mengenai dari mana dan bagaimana biasanya mereka membeli kebutuhan sehari-hari. Ternyata ada yang namanya “hari pasar” di mana ada pasar dadakan oleh, dari, dan untuk Kampung Bena dan beberapa kampung lain yang lokasinya berdekatan. Untuk Kampung Bena sendiri, “hari pasar” ini diadakan setiap Hari Kamis.
Hari pasar ini sebenarnya mirip seperti pasar keliling, karena penjual-penjual ini berkeliling selama seminggu ke beberapa daerah untuk berjualan. Barang yang dijual pun sangat beragam, mulai dari perabot rumah tangga, pakaian, hingga daging bahkan ternak sekalipun. Kami sempat melewati lapangan yang dijadikan pasar ini, suasananya sangat ramai, baik oleh penjual maupun warga yang berbelanja.
Pesta Reba
Awalnya, setelah dari Bajawa lalu ke Ende, kami ingin melanjutkan perjalanan ke Riung, tapi mendengar kalau tanggal 27 Desember ada Pesta Reba di Kampung Tradisional Bena, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Kampung Bena dan melewatkan Riung. Apa sih Pesta Reba itu, sampai kami bela-belain balik lagi ke Kampung Bena ?
Pesta Reba adalah upacara adat untuk merayakan tahun baru sekaligus berdoa kepada leluhur sesuai dengan kalender di Kampung Bena, beberapa desa lain di Bajawa juga merayakan Pesta Reba ini sesuai dengan penanggalan di masing-masing desa. Rangkaian Pesta Reba ini sendiri berlangsung selama 3 hari dan setiap warga yang berasal dari desa yang sedang merayakan Pesta Reba ini akan pulang kampung dan berkumpul bersama keluarga besar di kampung. Jadi jangan heran saat Pesta Reba, seperti di Kampung Bena saat itu sangat ramai, karena semua orang termasuk yang sedang merantau di luar kota akan pulang kampung dan setiap rumah akan dipenuhi semua sanak saudara 🙂
Hari pertama dalam rangkaian Pesta Reba ini dimulai dengan berkumpulnya seluruh anggota keluarga, dimana selain bersilahturahmi, saat berkumpul ini dimanfaatkan untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan seluruh anggota keluarga, seperti rencana perbaikan atau pembuatan rumah adat baru, atau juga bila ada upcara penting lain, seperti pernikahan yang melibatkan anggota keluarga.
Pada hari kedua Pesta Reba, (kami mengikuti Pesta Reba ini di hari kedua) kegiatan diawali dengan misa bersama di bangunan serba guna desa, lalu dilanjutkan dengan makan dan menari bersama mengelilingi desa sampai malam hari. Warga di Kampung Bena ini mayoritas beragama Katolik, tetapi masih terasimilasi dengan kepercayaan mereka terhadap para leluhur. Saat itu, kami mengikuti misa dengan suasana yang sungguh unik, karena banyak sekali unsur budaya lokal seperti lagu-lagu dengan bahasa lokal yang dinyanyikan koor dan juga putra latar dan tarian adat yang mengiringi misa dalam Pesta Reba ini.
Setelah misa selesai, acara dilanjutkan dengan seremoni adat, dimana pastor bersama sembilan kepala suku yang ada di Kampung Tradisioinal Bena berkumpul di panggung, dan ada salah satu tetua adat yang berdoa di depan mereka. Setelah itu, pastor dan kepala suku ini minum moke putih (sejenis arak) bersama, sekaligus menandakan bahwa acara sudah selesai dan saatnya makan bersama. Kemudian beberapa warga yang bertugas membagikan makanan mulai berkeliling membagikan piring atau besek kepada semua orang, dan beberapa lagi membagikan nasi putih dan juga lauk makanan yang terdiri dari daging babi dan ayam. Setelah makan, kami dibagikan juga moke putih untuk diminum, saya sendiri sempat minum 2 mangkuk moke putih yang cukup bikin kepala keleyengan 🙂
Sehabis makan bersama, acara dilanjutkan dengan menari bersama keliling desa. Warga akan menari sesukanya dan bisa jadi sampai malam hari selama Pesta Reba ini, mereka akan menari bersama mengelilingi desa, dimulai dari bangunan serba guna, lalu area parkir dan menuju ke desa utama. Beberapa kali mereka berisirahat menari dan lanjut lagi menari, begitulah sepanjang hari saat Pesta Reba ini. Sementara di masing-masing rumah, banyak sekali keluarga yang berkumpul sambil lanjut makan dan mengobrol bersama, kami pun mampir ke salah satu rumah warga, di mana kembali disajikan makanan dan “susu putih” (ini semacam tuak dari pohon aren).
Pada hari ketiga atau hari terakhir, upacara akan ditutup dengan memakan bersama ubi-ubian dan terung-terungan yang disiapkan, maka setelah itu Pesta Reba bisa dikatakan selesai.
Jadi buat kalian yang berencana overland Flores, wajib banget buat mampir ke Kampung Tradisional Bena ini dan mungkin bisa menghabiskan 2-3 hari di Bajawa karena cukup banyak objek wisata yang bisa dikunjungi di sini, semoga informasinya membantu : )
Sheika
Halo salam kenal,
Suka banget cerita nya. Baca ini bikin pingin ke flores juga 🙂
Anugrahni
Wah, saya senang membaca cerita tentang desa tradisional dan acara adatnya. Menarik sekali Pesta Reba. Pengen suatu saat nanti bisa berkunjung ke Kampung Tradisional Bena dan menyaksikan langsung. Makasih infonya Mas Eko.
Diana Suciawati
Sama-sama.. semoga informasinya membantu, dan semoga kesampaian menyaksikan langsung karena memang Pesta Reba itu unik sekali 🙂