Living Kintamani Dream is Sinking but not Dead
Ketika kami merasa pesimis dengan mimpi kami kemarin, muncullah kembali harapan untuk mimpi kami yang lain, yaitu untuk tinggal di Kintamani, kami namakan “Living Kintamani Dream”. Well.., sebenarnya awal mimpi ini sudah muncul pas kami datang ke Kintamani beberapa tahun lalu. Suasana gunung dan danau yang menyatu dengan perkebunan itu too good to be true. Akan sempurna rasanya kalo punya rumah kecil di pinggir danau untuk menghabiskan masa tua berdua 🙂 Walau belum tau caranya, tapi yang penting bagi kami saat itu adalah berani bermimpi.
Living Kintamani Dream
Ketika kami akhirnya memutuskan pergi dengan Petir, entah kenapa, tiba2 peluang untuk membeli tahan di Kintamani ini muncul kembali. Karena harganya cukup terjangkau, kami memutuskan untuk pergi melihat lokasi. Ternyata pemiliknya memiliki beberapa tanah di sana, dan kami suka salah satu tanahnya yang di dekat danau.
Membayangkan kami berdua duduk di teras dengan kursi goyang, dua cangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng, dengan Petir terparkir di bawah, rasanya cukup sudah memiliki satu sama lain di pondok kami yang sederhana..
Sudah sedekat itu kami dengan mimpi tersebut, namun ternyata nasib berkata lain. Tanah yang mau dijual adalah 20 Are (20 x 100 m2). Tentunya kami ga mungkin ambil sebanyak itu sendiri. Paling banyak juga kami mungkin ambil 2-3 Are, cukup untuk sebuah rumah, tempat parkir Petir, dan kebun seperlunya (walaupun kayaknya kecil kemungkinannya, karena tidak satupun dari kami suka merawat kebun). Sisa tanahnya mungkin masih cukup untuk menampung beberapa ayam dan dua anjing Golden Retriever, plus lahan BBQ dengan beberapa teman dekat.
Negotiation
Setelah negosiasi, Bapak pemilik lahan bersedia memecahnya (sehingga ga harus beli 20 Are sekaligus), karena mereka sedang butuh duit juga untuk bayar hutang. Namun, minimal tanah yang mau dipecah adalah 10 Are. Setelah nego lagi, bisa turun jadi 6 Are. Tadinya, kami sempat mengajak beberapa teman untuk menjadi tetangga kami, alias beli beberapa Are supaya genap dan dapat mencapai luas minimal yang disyaratkan penjual. Namun, satu per satu dari mereka mundur teratur. Di situ, kadang saya merasa sedih.. :(( Living Kintamani dream is sinking, but not dead, definitely..
Life is All about Choice
Kalo lagi kayak gini, baru deh rasanya pengen punya duit banyak, biar bisa beli tanah, sekaligus juga pergi dengan Petir. Tapi apa daya, belum pernah ikut dan menang kuis 1 M di TV. Jadi untuk sementara, duit di tabungan baru cukup untuk memenuhi salah satunya: mau beli tanah, atau pergi dengan Petir.
Pas lagi masa tunggu hasil nego2, akhirnya saya ngulik lagi website Smell Like Home ini, dan di situ sudah ada 1 postingan pertama “Cara Menangkal si Pesimis”, yaitu tentang kebulatan tekad pergi dengan Petir, akhirnya setelah diskusi dengan Eko, kami memutuskan bahwa mimpi di Kintamani, harus menunggu dulu.
We Believe…
Di lain waktu, mau tanah di manapun dan berapapun sudah tinggi harganya di sana, Tuhan akan kasih tanah yang tepat, dan di waktu yang tepat. Judulnya “Takkan lari tanah dikejar”. Untuk mimpi dengan Petir, kami berlomba dengan waktu dan kesempatan. Selagi kami masih kuat, masih mau, masih mampu, kami berencana pergi saat Lala berumur 2 tahun.