Why I Take My Kids Traveling in Indonesia
One of the reasons why I take my kids traveling is because this is the best I can do, khususnya di tengah kemarakan trend MPASI dan Montessori di Indonesia. [Apa itu Montessori? Baca di sini atau googling 🙂 ] Kemarakan postingan ibu-ibu lain di sosial media tentang MPASI rumahan, aktifitas DIY (Do It Yourself) untuk anak bermain sambil belajar di rumah, membuat saya berpikir ulang tentang hal terbaik apa yang dapat saya lakukan untuk Lala.
Well.. Here we go..
Playing Activities at Home
Belakangan ini, kalo pada aktif di instagram, ibu-ibu mungkin akan melihat postingan ibu-ibu lain dengan masakan untuk anaknya, atau mainan edukatif buatan sendiri untuk balita. Lagi nge-trend kyy emang (terutama di Indonesia. Karena di luar negeri, hal ini udah lama juga), itu seperti preschool untuk di rumah. Jadi semua kegiatannya disiapkan oleh ibunya. Tentunya bertujuan untuk merangsang kreatifitas, sensorik, motorik anak dll.
Artsy Kids
Selain itu, ada juga ibu yang seorang seniman, lebih merangsang anaknya untuk menuangkan kreatifitasnya dalam kegiatan seni, seperti menggambar, menari dll. And, the worse news is, ibu-ibu ini follower-nya ribuan lho. Artinya, banyak ibu-ibu lain yang mencoba ngikutin kegiatan itu, semacam saya. -.-”
While We Feel Failed
Tapi stressnya, kok kyy saya yang pada umumnya sudah merasa cukup kreatif, tapi kok nyatanya ga bisa se-kreatif itu yaaa.. Apalagi ibu-ibu itu seolah dengan mudahnya siapin mainan dalam waktu yang singkat. Karena mereka tidak pernah mencantumkan sumbernya, jadi saya sempet mikir bahwa semuanya adalah ide mereka sendiri (makin down lah rasanya 🙁 karena ya itu tadi, kok merasa ga bisa mikirin kreativitas kayak gitu). Walau saya baru tahu belakangan bahwa ini ada trik dan sumbernya. Nanti saya share di postingan berikutnya ya..
Dengan berbagai alasan sih tentunya, termasuk kesibukan masak dan kerja di rumah. *caile*
Tapi beneran, saya merasa down. Apalagi pas Lala disajikan mainan spt itu, malah ga berhasil -.-”
Contohnya: suatu ketika saya mencoba menyiapkan mainan sensory buat Lala, yaitu mengisi botol dengan air, lalu diberi pewarna makanan, dan sabun carir. Tujuannya sih, ketika dikocok, akan menimbulkan busa dengan warna masing-masing pada masing-masing botol, sehingga bayi akan tertarik untuk mengamati dan mengenal warna. Alih-alih Lala mengocok dan mengamati, yang ada itu botol dimasukin ke mulutnya dan ya otomatis saya bilang, “bukan buat dimasukin ke dalam mulut!, sayang..” (nada bicara akhir mereda karena sadar ga boleh emosi).
Logika saya bisa nolong dikit sih, bahwa tiap anak memang beda, atau ini memang belum umurnya (padahal udah dicari kegiatan buat umur Lala), atau nanti lain kali dicoba lagi. Tapi buat ibu yang pernah coba pasti ngerti deh perasaan saya, tetap aja ada rasa kecewa.
Just Do Our Best
Akhirnya saya cuma buat beberapa mainan simple dari barang bekas, seperti plastik bekas es krim KFC, dibolongin seperti celengan lalu dijadikan tempat celengan untuk masukin kancing (sebagai pengganti koin). Mainan ini seringkali berhasil dan saya seneenggg banget, karena dikeluarinnya saat makan di high chair. Jadi Lala banyak makannya. Huahahaha..
Kids in Finlandia
Jadi inget sekolah di Finlandia, negara dengan penduduk paling bahagia sedunia. Di sana, sekolah baru mulai umur 7 tahun. Sebelum itu, aktivitas anak-anak kebanyakan main di luar rumah, seperti main salju, air, dan di sana memang terkenal anaknya “liar” sekali kalo lagi main, pasti kotor-kotoran. Ketika masuk sekolah, mereka tidak menggunakan sistem ranking, jadi tidak ada label lebih pintar atau lebih bodoh. Semua anak sama. Juga tidak ada UAN, karena tiap anak diyakinin unik dan tidak dapat distandarisasi. Semua perkembangan anak diserahkan sepenuhnya kepada guru dan orang tua. Makanya, profesi guru di sana adalah salah satu profesi dengan bayaran paling tinggi, karena membutuhkan dedikasi yang sangat tinggi. Jadi di sana juga ga ada sistem “bermain sambil belajar” sejak dini. Tapi ternyata di situ penduduknya paling bahagia.. *sigh*
Traveling for Kids
Nah, nyambung lagi ke kegiatan anak usia dini yang diisi dengan kegiatan belajar spt itu. Karena mamanya males nge-craft di rumah (this is truly one of the reason why I take my kids traveling, hahaha..), Lala lebih seringnya dibawa keluar, ketemu orang, dan traveling sama mama papa. Dengan traveling, Lala diharapkan akan lebih ketemu hal-hal di luar rumah, semoga bisa lebih banyak belajar tentang attitude dan mengembangan EQ-nya. Pastinya di jalan akan belajar tentang minta maaf, berterima kasih, setia kawan, belajar mengalah, belajar adaptasi, belajar problem solving, dll. Nah, biar mamanya ga terlalu merasa bersalah, semoga nanti di jalan juga bisa ngajarin tentang angka, dll, secara langsung (biar ada stimulasi untuk IQ juga). Spt belajar cara baca nomor rumah atau nomor telpon, belajar baca peta, belajar membayar barang belanjaan di kasir, dsb. Well.., semoga mama tetap semangat yaaa!! 🙂 *gedein hati sendiri*
Why I Take My Kids Traveling
Jadi kesimpulannya, setiap anak memang cenderung dibesarkan sesuai dengan passion orang tuanya. Ada yang lebih ke arah seni, travel, masak, bisnis, dll. Tapi pada hakekatnya, asal ada manfaat buat si anak, orang tua tidak perlu merasa kecil hati bila tidak sama dengan orang tua lainnya. Hal ini karena sudah jelas, masing-masing orang tua mempunyai kapasitasnya masing-masing. Tidak juga perlu merasa kecil hati bila merasa belum menemukan passion, yang bisa dikaitkan dengan cara asuh, karena hal ini tidak ada kaitannya juga dengan perkembangan anak. Asal orang tua sayang dan ada niat untuk memajukan anak, tidak ada hal lain yang lebih dapat dibenarkan daripada kasih sayang dan niat itu sendiri.